Pendidikan karakter

/ On : 3:50 AM/ Terimakasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang sederhana ini. Semoga memberikan manfaat meski tidak sebesar yang Anda harapakan. untuk itu, berikanlah kritik, saran dan masukan dengan memberikan komentar. Jika Anda ingin berdiskusi atau memiliki pertanyaan seputar artikel ini, silahkan Tinggalkan Comentar Anda.
EKSES sejarah perang Aceh yang berkepanjangan, kemiskinan, kebodohan, degradasi akhlak, tidak ada supremasi hukum dan penganguran merupakan dalil konkrit bahwa kita sekarang lagi mundur dan tidak berdaya membangun peradaban. Kondisi negatif ini bukanlah terjadi dalam waktu sementara, tetapi terus-menerus bertahun-tahun dari sejak adanya negara ini sampai sekarang.
Apa Itu Karakter?
Menurut Jakoep Ezra, MBA, CBA, seorang ahli Character, "Karakter adalah kekuatan untuk bertahan dimasa sulit". Tentu saja yang dimaksud adalah karakter yang baik, solid, dan sudah teruji. Karakter yang baik diketahui melalui "respon" yang benar ketika kita mengalami tekanan, tantangan & kesulitan.

Karakter yang berkualitas adalah sebuah respon yang sudah teruji berkali-kali dan telah berbuahkan kemenangan. Seseorang yang berkali-kali melewati kesulitan dengan kemenangan akan memiliki kualitas yang baik. Tidak ada kualitas yang tidak diuji. Jadi jika ingin berkualitas, tidak ada cara yang lebih ampuh kecuali 'ujian'. Ujian bisa berupa tantangan, tekanan, kesulitan, penderitaan, hal-hal yang tidak kita sukai. Dan jika kita berhasil melewatinya, bukan hanya sekali tapi berkali-kali maka kita akan memiliki kualitas tersebut.

Karakter berbeda dengan kepribadian dan temperamen. Kepribadian adalah respon kita atau biasa disebut etika yang kita tunjukkan ketika berada di tengah-tengah orang banyak, seperti cara berpakaian, berjabat tangan, dan berjalan. Temperamen adalah sifat dasar kita yang dipengaruhi oleh kode genetika orang tua, kakek nenek, dan kakek buyut dan nenek buyut kita. Sedangkan karakter adalah respon kita ketika sedang 'diatas' atau ditinggikan. Apakah kita putus asa, sombong, atau lupa diri. Bentuk respon itulah yang kita sebut karakter.

Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar kita (dominan, intim, stabil, cermat), keyakinan (apa yang kita percayai, paradigma), pendidikan (apa yang kita ketahui, wawasan kita), motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup) dan Perjalanan (apa yang telah kita alami, masa lalu kita, pola asuh dan lingkungan).

Karakter yang dapat membawa keberhasilan yaitu empati (mengasihi sesama seperti diri sendiri), tahan uji (tetap tabah dan ambil hikmah kehidupan, bersyukur dalam keadaan apapun, dan beriman (percaya bahwa Tuhan terlibat dalam kehidupan kita). Ketiga karakter tersebut akan mengarahkan seseorang ke jalan keberhasilan. Empati akan menghasilkan hubungan yang baik, tahan uji akan melahirkan ketekunan dan kualitas, beriman akan membuat segala sesuatu menjadi mungkin.

Masih menurut Bapak Jakoep Ezra, MBA, CBA, Karakter dibentuk tidak diciptakan, harus melalui proses. Benar ada karakter dasar yang memuat kekuatan dan kelebihan kita. Untuk mengembangkan karakter, diperlukan pendidikan karakter. Kita tidak dapat bertumbuh sendiri dalam karakter yang baik. Perlu seorang pembina, coach, mentor yang mengarahkan dan memberitahukan kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karakter kita.
Bagaimana menciptakan masyarakat yang berkualitas karakter?
Cara yang paling mudah adalah, pertama untuk masyarakat kalangan bawah dan anak-anak diadakan keteladanan dan pendidikan karakter. Misalnya para pimpinan harus memberikan contoh-contoh teladan dalam berbuat kebajikan kepada rakyat, sehingga rakyat terajak untuk berbuat baik dengan suka rela dan pada akhirnya mereka akan berkarakter baik sebagai wujud contoh teladan dan ketaatan kepada pimpinan.

Sedangkan bagi anak-anak belum dewasa (dibawah umur 18 tahun) pendidikan karakter adalah solusi yang mujarab yang dapat diharapkan akan mengubah prilaku negatif ke fositif. Pertama kurangi jumlah mata pelajaran berbasis kognitif dalam kurikulum-kurikulum pendidikan TK, dasar, menengah atau menengah sehingga sesuatu yang hanya menjadi beban siswa berkurang. Karena pendidikan intelektual (kognitif) yang berlebihan akan memicu kepada kekerasan dan kenakalan remaja. Seharusnya Pemerintah NAD tidak perlu terjebak dengan ephoria Ujian National, karena secara subtansi ujian tersebut lebih banyak menyebabkan kekerasan kepada anak didik dan penyelewengan pendidik terhadap karakter yang baik, seperti membocorkan jawaban, mengajari anak untuk berbohong dan lain-lain.

Kedua, setelah dikurangi beberapa pelajaran kognitif, tambahkan materi pendidikan karakter. Materi pendidikan karakter tidak identik dengan mengasahkan kemampuan kognitif, tetapi pendidikan ini adalah mengarahkan pengasahan kemampuan affektif. Maka metode pengajaran pelajaran karakter ini adalah dilakukan dengan cerita-cerita keteladan seperti kisah-kisah keteladan Nabi-nabi, pahlawan-pahlawan Islam, dunia, nasional ataupun lokal. Cara lain yang dianggap baik dilakukan adalah dengan contextual learning, meskipun tidak resmi, tidak dalam kelas, anak-anak dicontohi berahklak baik dengan langsung diperlihakkan oleh tindakan-tindakan seluruh pendidik dalam suatu institusi pendidikan, dan inilah cara yang terbaik.

Adapun bagi masyarakat kelas atas; penguasa, pimpinan, perubahan karakter mereka kearah yang lebih baik dapat dilakukan dengan penegakan hukum yang pasti dan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Syariat Islam adalah senjata ampuh itu hal ini, maka bidikan qanun itu kepada mereka koruptor-koruptor lebih dulu dari kepada kelas bawah yang tidak berdaya.

Karakter penting bagi pembangunan peradaban?
Secara fisik, harus diakui bahwa hasil alam di Aceh melimpah ruah, mestinya hasil alam itu menunjang pembangunan peradaban yang tinggi, namun kenyataannya bencana dan malapetaka bagi manusia yang menghuninya. Energi tambang yang melimpah ruah telah memicu timbulnya konflik, kekayaan hutan yang begitu kaya (diperkirakan jenis tumbuh-tumbuhan dunia berada di Leuser) dan ini merupakan peninggalan satu-satunya yang masih tersisa yang penting untuk dilestarikan) habis di tebang dan hasilnya malah menyebabkan banjir yang membuat warga mengungsi. Walhasil segala kekayaan alam itu tidak membawa untung bagi pembangunan peradaban. Malah sebaliknya malapetaka.

Secara intelektual, sesuai dengan hasil pengamatan peneliti dalam belajar dan berkunjung, meskipun jumlah cendekiawan di negara-negara maju seperti Malaysia, Thailand, Abu Dhabi, Arab Saudi, Qatar, Maroko dan lain-lain tidaklah jauh berbeda dengan jumlah dan kualitas cendikiawan di Aceh. Artinya perbedaan itu tidaklah signifikan. Namun demikian mereka telah maju beberapa langkah kedepan dan hal itu membuat peradaban mereka lebih tinggi dari pada peradaban kita di Aceh atau Indonesia sekalipun.

Dari kenyataan di atas dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa, hasil alam yang melimpah-ruah, kecerdasan intelektual bukanlah sebab mendasar dalam membangun peradaban. Maka satu-satunya alasan yang rasional dan universal adalah faktor character. Dikatakan rasional karena memang sifat-sifat masyarakat yang baik menjadi alasan mendasar demi terwujudnya karya-karya yang berguna untuk melahirkan peradaban. Disamping rasional, peran mendasar character dalam membangun peradaban juga dibuktikan oleh empiris, karena memang kanyataan bahwa dimana saja masyarakat yang berkualitas baik, mereka dapat membuktikan penciptaan peradaban-peradaban megah sebagai fakta sejarah.

Dikakatakan universal, adalah character baik dapat dimiliki oleh setiap masyarakat tanpa dibatasi status sosial, kaya- miskin, pemimpin dan rakyat, sehingga semuanya memilik peluang untuk berbuat. Character sosial juga dapat dimiliki universal masyarakat, baik masyarakat yang tinggal di negeri yang miskin sumber daya alamnya maupun negeri yang kaya sumber alam dan juga dapat dimiliki oleh masyarakat yang intelektualnya rendah begitu juga yang intelektualnya tinggi. Tetapi sebaliknya kecerdasan intelektual dan sumber daya alam tidak bisa dimiliki oleh individu dan masyarakat. Buktinya, banyak peradaban telah dibangun di tempat-tempat yang bervariasi, baik di tempat yang miskin sumber daya alamnya ataupun kaya, juga oleh orang yang dikenal cerdas intelektualnya ataupun tidak.

Contoh sederhana, kita tercengang dengan Mbah Waras, seorang yang tidak pernah sekolah, tidak bisa berbahasa Indonesia, tapi dapat memberi contoh teladan karakter yang baik dalam berbuat jujur. Ceritanya berawal dari pembagian ganti rugi dari PT. Lapindo untuk korban lumpurnya. Ganti rugi untuk keluarga Mbah Waras ditetapkan Rp. 285 juta. Pembayaran pertama diberikan 20%, jadi uang yang diterima sementara adalah Rp. 56 juta. Namun apa yang terjadi ? Rekeningnya membengkak menjadi 429 juta!, Mbah Waras malah kebingungan lalu melaporkan hal itu kepada pendamping yang kemudian bersama-sama ke kantor Lapindo. Dalam acara news dotcom di metro TV, ketika ditanya apa yang mendasari Mbah Waras mengembalikan uang ratusan juta itu? Jawabnya dengan lugu dan dalam bahasa Jawa (karena dia tidak bisa bahasa): "Kulo wedi dosa, Pak, niku sanes hak kulo." ("Saya takut dosa, Pak, itu bukan hak saya").

Luar biasa. Mbah Waras yang bukan orang sekolahan, bukan pejabat yang mengemban amanah rakyat, tapi dia lebih punya hati nurani daripada kebanyakan pejabat saat ini yang didominasi mental korup. Apalagi nama-nama pembohong rakyat alias koruptor, adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, bahkan teungku atau ulama sekalipun.

Dari tiga dasar terwujudnya peradaban; potensi intelektual, kekayaaan alam, dan character positif, satu-satunya alasan yang dapat diterima adalah character masyarakatlah yang merupakan sebab yang mendasar terhadap ada atau tidak adanya peradaban. Artinya ketika mayoritas character masyarakat positif, maka peradaban dapat dibangun dengan baik dan sukses, sebaliknya jika mayoritas character masyarakat adalah negatif maka character negatif tadi akan menjadi hambatan besar sehingga mengakibatkan tidak dapat dibangun peradaban apapun, karena tiada fondasi tempat dibangun peradaban itu. Adapun faktor kecerdasan intelektual, sumber daya alam yang melimpah dan lain-lain adalah sebagai faktor utama yang tidak mendasar bagi dibangunnya peradaban.
Suatu masyarakat akan sukses mengapai kemajuannya jika mayoritas masyarakatnya berkarakter positif, sebaliknya jika mayoritas masyarakat berkarakter negatif, maka dapat dipastikan masyarakat itu tidak bisa maju. Hal ini dikarenakan suatu masyarakat yang berkharakter positif sudah memiliki modal dasar untuk mengapai kemajuan, seperti sifat jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya dan lain-lain. Sifat-sifat positif diatas memastikan suatu masyarakat bisa bekerja sama, dipercaya, mementingkan kepada orang lain, bisa diatur, bila hal tadi memungkinkan dilakukan dalam masyarakat maka secara pasti sebuah peradaban dapat dibangun.

Sebaliknya masyarakat yang mayoritas berkarakter negatife maka masyarakat ini tidak mampu membangun peradaban, apalagi menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi. Karena kharakter negative yang mereka lakukan menghambat bekerja-sama antara internal dan eksternal, tidak dapat dipercaya, begitu juga tidak rajin, tidak punya etos kerja dan lain-lain yang akan membuat pembangunan peradaban itu mustahil tercapai! [Sdhri | www.acehinstitute.org]
Wacana pendidikan karakter belakangan ini umumnya memosisikan pendidikan karakter sebagai “jalan keluar” bagi berbagai krisis moral yang sedang melanda bangsa Indonesia. Demikianlah, orang mengusulkan pendidikan karakter untuk mencegah perilaku korupsi, praktik politik yang tidak bermoral, bisnis yang culas, penegakan hukum yang tidak adil, perilaku intoleran, dan sebagainya.
Meskipun demikian, sejauh manakah pendidikan karakter telah dipahami? Apakah pendidikan karakter sama saja dengan pendidikan moral, pendidikan agama, pendidikan budi pekerti atau pendidikan kewarganegaraan? Apakah pendidikan karakter dapat diaplikasikan tanpa pengetahuan yang memadai tentangnya? Buku karangan Doni Koesoema A. berjudul Pendidikan Karakter. Strategi Pendidikan Anak Bangsa (2007) ini sangat membantu kita memahami apa itu pendidikan karakter sebelum mengaplikasikannya.
Tiga pertanyaan utama membantu kita memahami buku ini. Pertama, apa itu pendidikan karakter? Kedua, di manakah pendidikan karakter akan diaplikasikan? Ketiga, bagaimana mengevaluasi pendidikan karakter?
Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter bagi Doni Koesoema adalah usaha yang dilakukan secara individu dan sosial dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri (hlm 194). Inilah tesis yang dikembangkan Doni Koesoema, bahwa pendidikan karakter harus bersifat membebaskan. Alasannya, hanya dalam kebebasannya individu “dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka” (hlm 123).
Usaha Doni Koesoema menyajikan tinjauan historis atas pendidikan karakter (bab 1) memetakan dengan baik hubungan erat antara pendidikan karakter dengan pembentukan manusia ideal. Manusia ideal adalah manusia yang baik secara moral (hlm 13, 18-21), pribadi yang kuat dan tangguh secara fisik (hlm 15), yang mampu mencipta dan mengapresiasi seni (hlm 15), bersahaja, adil, cinta pada tanah air, bijaksana, beriman teguh pada Tuhan, dan sebagainya.
Pendidikan mencoba merealisasikan manusia ideal ini. Tentu berbagai tujuan pendidikan dapat menentukan bagaimana manusia ideal ini direalisasikan (lihat bab 2). Masyarakat dalam pemerintahan yang otoriter akan mendahulukan ketaatan pada negara atau patriotisme sebagai manusia ideal yang ingin diwujudnyatakan. Sementara masyarakat yang demokratis akan mengidolakan kebebasan individu sebagai karakter ideal yang ingin direalisasikan.
Di sini Doni Koesoema menunjukkan dengan tepat bahwa pendidikan sepenuhnya ditentukan oleh manusia, karenanya ia bersifat parsial dan kontingen dalam sejarah peradaban manusia (hlm 76-77). Pendidikan akan selalu dirumuskan dalam konteks ruang dan waktu tertentu, konteks di mana manipulasi atau politisasi terhadap pendidikan sangat mungkin terjadi. Berhadapan dengan relativitas pendidikan pada umumnya dan pendidikan karakter khususnya, pertanyaannya adalah apakah pendidikan karakter dilaksanakan semata-mata untuk merealisasikan manusia ideal tertentu sebagaimana dicita-citakan ideologi atau rezim penguasa tertentu?
Doni Koesoema berpendapat bahwa hanya melalui pendidikan sebagai proses pembebasanlah individu mampu membebaskan diri dari berbagai manipulasi dan rekayasa pendidikan oleh penguasa demi status quo (hlm 194). Pendidikan yang menonjolkan nilai keterbukaan dan demokrasi, misalnya (hlm 203), akan membantu individu menghayati hidupnya sebagai bagian integral dari masyarakat dan negara, yang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses politik demi mewujudkan kesejahteraan bersama.
Pada tingkat individu, pendidikan karakter yang membebaskan akan membantu seseorang memahami determinisme dan segala kelemahan tubuhnya—faktor yang membuat seseorang mudah berperilaku tidak bermoral—agar ia bisa bertumbuh secara penuh sebagai manusia (hlm 82-8; 95-96). Melalui pendidikan yang membebaskan pula manusia mampu menegaskan komitmen-komitmen moralnya (hlm 91) dan terus mengobsesikan perilaku-perilaku ideal yang akan direalisasikan di masa depan (hlm 96-100).
Tanggung Jawab Semua Pihak
Locus educationis pendidikan karakter adalah sekolah (hlm 222-270). Semua pihak yang terlibat dalam di sekolah memikul tanggung jawab membangun pendidikan karakter (hlm. 165). Meskipun demikian, pendidikan karakter bukanlah sebuah mata pelajaran yang harus dihafal. Pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral Pancasila, dan sebagainya.
Karena itu, meskipun lingkungan sekolah sangat berperan dalam pendidikan karakter, peran orang tua, masyarakat, dan negara tidak kalah penting. Nilai-nilai yang ditawarkan Doni Koesoema sebagai fondamen pendidikan karakter (hlm 208-211) tidak akan bisa terealisasi menjadi karakter individu jika tidak pernah dipraktikkan di rumah dan di masyarakat. Sebagai contoh, seorang anak sulit bersifat terbuka dan menghormati perbedaan jika orang tua di rumah biasa bersifat otoriter. Lebih parah lagi jika nilai-nilai semacam ini dipasung oleh rezim penguasa tertentu.
Keteladanan sebagai salah satu model pendidikan karakter (hlm 214-215) kiranya tepat dengan situasi negara kita. Orang tua yang gemar bekerja keras, disiplin, setiap pada nilai-nilai moral, agama, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan akan membantu pembentukan karakter seorang siswa. Demikian pula guru yang terbuka, dedicated, jujur dan adil atau masyarakat dan negara yang menjunjung tinggi kebebasan, demokrasi, multikulturalisme, keadilan sosial, dan sebagainya. Inilah lingkungan yang kondusif bagi pembentukan karakter sebagaimana dimaksudkan Doni Koesoema.
Sehubungan dengan pertanyaan ketiga yang saya ajukan di awal tulisan ini, sangat sulit melakukan penilaian terhadap pendidikan karakter. Di bab 9 buku ini Doni Koesoema hanya ingin menegaskan bahwa pendidikan karakter tidak bisa dinilai seperti menguji mata pelajaran lain. Kritik Doni Koesoema terhadap masalah Ujian Nasional (hlm 273-279) sepintas memang menggarisbawahi hal ini, tetapi tampaknya tidak berhubungan langsung dengan assessment terhadap pendidikan karakter. Sementara itu, penegasan bahwa pendidikan karakter harus bersifat membebaskan mengandung konsekuensi logis bahwa penilaian terhadap pendidikan karakter harus dilakukan oleh individu sendiri (hlm 279). 
Meskipun demikian, pendidikan karakter tidak lantas menjadi proses pembentukan watak pribadi yang subjektif sifatnya. Doni Koesoema berhasil menegaskan pentingnya perilaku standar yang dimiliki sekolah (hlm 284), bahkan di rumah dan di masyarakat. Perilaku standar inilah yang menjadi semacam life in common yang dibangun di atas nilai-nilai unggulan yang sudah disepakati dan yang pada gilirannya menjadi tolok ukur (benchmark) dalam menilai pendidikan karakter itu sendiri.
Catatan Penutup
Buku ini harus dipuji karena tiga hal. Pertama, Doni Koesoema berhasil mendeskripsikan pemikirannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Ini akan sangat membantu para guru dan praktisi pendidikan yang selama ini mencari refensi-referensi seputar pendidikan karakter. Kedua, buku ini disusun secara sangat sistematis dan logis sebegitu rupa sehingga setiap bab merupakan satu kesatuan yang utuh. Karena itu, membaca buku ini harus tuntas dari awal sampai akhir tanpa bisa meloncati bagian tertentu.
Ketiga, keunggulan lain dari buku ini adalah dukungan yang kuat dari elemen-elemen filsafat pendidikan. Sejak awal Doni Koesoema menyadari betul bahwa konsepsi-konsepsi tentang pendidikan pada umumnya dan pendidikan karakter khususnya tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mengenai siapa manusia, kebebasan, etika, paham tentang kodrat, dan sebagainya. Buku semacam ini pantas mendapat nilai sembilan.         Bagaimana pun juga, buku ini masih memiliki beberapa kelemahan yang harus diperhatikan. Pertama, tinjauan historis pendidikan karakter (bab 1) sebenarnya dapat dikeluarkan dari buku ini tanpa menggangu keutuhan konsep yang ditawarkan Doni Koesoema. Jika ini dilakukan, akan sangat membantu meringkas buku ini sehingga orang tidak bosan membacanya.
Kedua, buku ini  sebenarnya bisa disusun lebih aplikatif, misalnya dengan melampirkan contoh-contoh penilaian pendidikan karakter berbasiskan komitmen pada life in common. Lampiran yang dimaksud dapat disisipkan di belakang, mengganti posisi epilog yang sekarang ada, yang de facto tidak berhubungan langsung dengan materi yang dibahas dalam buku ini.
Ketiga, sayang sekali buku sebagus ini tidak memiliki indeks (nama dan istilah). Kalau nanti dicetak ulang, kesalahan cetak pada halaman 319 (baris kelima dan keenam) harus dikoreksi sekaligus menambahkan indeks dan foto pengarang. Molto bene, Doni   Koesoema!

0 komentar:

Post a Comment

Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net
 
Copyright © 2015. Literatur Karya Ilmiah . N-A Shop.com
popok cuci ulang | popok cuci ulang | menstrualpad | Biohikmah | clodi banyuwangi| menspad | celana plastik | cloth diapers
Distributor Clodi 2015 Clodi murahCelana Lampin