KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
( Sebuah Refleksi Awal Proses Pembangunan Pendidikan di Banyuwangi )
A. LATAR BELAKANG
Berbicara masalah dunia pendidikan di Banyuwangi, sebenarnya adalah berbicara masalah pembangunan sumberdaya manusia Banyuwangi. Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yakni: (1) sarana pendidikan, (2) buku yang berkualitas, (3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional.
Namun kenyataan dilapangan menunjukan "hanya 43% guru yang memenuhi syarat”, artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional. ( E.Mulyasa. 2004) Pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan, dan kebutuhan. Padahal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.
Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang¬bidang lain seperti ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, maka pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menterjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidup¬an yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Bangsa Indonesia bisa merdeka juga tidak terlepas dari peran pendidikan.
Para pahlawan pendidikan, seperti KH.Hasyim As’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker merupakan bukti peran pendidikan dalam pemba-ngunan bangsa Indonesia. Mereka merintis pendidikan nasional dengan mendirikan NU, Muhammadiyah, Taman Siswa dan lainya, dan secara bertahap meningkatkan pemahaman, kesadaran, serta kecerdasan masyarakat Indonesia, sehingga menjadi bangsa yang merdeka, dan berdaulat seperti sekarang ini.
Menyadari hal tersebut, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang benar bangsa ini dapat membebaskan diri dari belenggu krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui pendidikan, bangsa ini bisa membebaskan masyarakat dari kemiskinan, dan keterpurukan. Melalui pendidikan pula, bangsa ini mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia, bahkan dalam era kesemrawutan global. Tanpa pendidikan yang kuat, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan terus tenggelam dalam keterpurukan. Tanpa pendidikan yang memadai, bangsa Indonesia akan terus dililit oleh kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa Indonesia sulit meraih masa depan yang cerah, damai, dan sejahtera.
Persoalannya, pendidikan yang bagaimanakah yang harus dikembangkan untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan, agar dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta membebaskan bangsa dari ketergantungan terhadap negara lain? Jawabannya sederhana, yakni pendidikan yang dapat mengem¬bangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menye¬luruh. Pendidikan demikianlah yang mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkuaiitas serta memiliki visi, transparansi. dan pandangan jauh ke depan; yang tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut, sekarang banyak diabaikan, bahkan kualitas SDM Indonesia rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain; dari empat puluh tiga negara, hampir dalam seluruh bidang kehidupan Indonesia berada pada urutan sepuluh terakhir. Index pengembangan sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 174 negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga menurun dari urutan ke 41 di antara 46 negara pada tahun 1996 menjadi urutan ke 46 di antara 47 negara pada tahun 2001. Sementara itu, hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dimuat The Jakarta Post (3 September 2001) menunjukkan betapa rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dibanding negara lain di Asia, bahkan berada di bawah Vietnam. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan HDI dan tingkat persaingan, perlu strategi peren¬canaan pembangunan pendidikan yang tepat dalam upaya mengem¬bangkan SDM berkualitas dan profesional, sehingga mampu bersanding dan bersaing dalam era globalisasi yang sedang kita masuki.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Soedi.jarto (1999) mendiagno¬sis berbagai faktor dan memberikan rekomendasi bagi pembaruan pendidikan yang relevan dengan tuntutan pembangunan, yang intinya berkesimpulan bahwa:
(1) Pelaksanaan pendidikan belum seluruhnya terencana dan sistematik diberdayakan untuk melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional secara optimal;
(2) Pendidikan nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasai oleh IPTEK dan persaingan global belum sepenuhnya terlaksana;
(3) Pendidikan nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditi yang mutunya mampu bersaing dan mampu mengembangkan sistem perdagangan;
(4) Pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu mengembang-kan manusia Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak ksatria dan patriotik;
(5) Agar pendidikan nasional benar-benar mampu melaksanakan fungsinya dan mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, perlu dikembangkan dan dilaksanakan program pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang dapat berfungsi sebagai lembaga sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemam¬puan, nilai, sikap dan ahklak yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur serta demokratis berdasar¬kan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Memahami uraian tersebut, diperiukan pendidikan yang dapat menghasilkan SDM berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan (continuous quality improvement). Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa Pendidi¬kan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allh SWT, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan tersebut telah digariskan pula dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
B. KEBIJKAN PEMERINTAH DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Untuk merealisasikan tujuan pembangunan pendidikan tersebut, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi perlu menetapkan empat strategi pokok pembangunan pendidikan sebagai kelanjutan dari prioritas program pendidikan pemerintah, yaitu :
- peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan ( pendidikan gratis - bersubsidi
- relevansi pendidikan dengan pembangunan,
- kualitas pendidikan,
- efisiensi pengelolaan pendidikan.
Strategi tersebut jika dilaksanakan secara proporsional dan profesional, maka akan dapat menyelesaikan berbagai masalah pendidikan. Paling tidak dapat mendekatkan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya. Namun tidak demikian dalam kenyataannya, karena pelaksanaan strategi tersebut seringkali tidak dilakukan oleh ahlinya, sehingga tidak pernah menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Kebijakan dalam bidang pemerataan misalnya, dimaksudkan agar semua warga negara Indonesia memperoleh kesempatan yang sama untuk mengenyam dan mengikuti pendidikan yang berkuali¬tas. Idealnya, warga negara yang tinggal di pedalaman dan daerah terpencil bisa memperoleh pendidikan gratis yang berkualitas seperti saudaranya yang ada di kota. Demikian halnya, warga negara yang miskin harus mendapatkan pendidikan yang sama kualitasnya dengan mereka yang kaya, sehingga pendidikan berkualitas menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat Indonesia. Namun hal tersebut sekarang hanya menjadi angan¬-angan, karena warga miskin yang jumlahnya cukup banyak, jangankan dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas, untuk mencari makan saja susah. Kondisi ini terutama dapat disaksikan di kota-kota, setiap tahun biaya pendidikan meningkat, bahkan kebijakan desentralisasi pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) hanya dijadikan sebagai alat untuk melegalkan pungutan-pungutan yang mengatasnamakan pendi¬dikan, yang seringkali di luar batas kemampuan masyarakat. Wajar kalau mahasiswa menuntut dibubarkannya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, karena lembaga ini tidak bekerja pada jalurnya, hanya menjadi parasit dalam sistem pendidikan.
Pelaksanaan kebijakan pemerataan pendidikan ini pada awalnya menunjukkan hasil yang cukup lumayan, seperti gerakan wajib belajar 6 tahun yang dimulai pada tahun 1984, pada tahun 1994 diperluas menjadi sembilan tahun, dengan harapan semua warga negara Indonesia dapat menempuh pendidikan minimal setara dengan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Dilihat dari pemerataan akses, SD Inpres yang dibangun secara meluas di seluruh nusantara telah memberikan kesempatan pendidikan yang merata. Jika pada akhir Pelita I 1969/1970 persentase anak usia 7¬-12 tahun yang bersekolah hanya sebesar 41,4%, maka sampai akhir Pelita V angka partisipasi tersebut telah mencapai 93,49%. Hal tersebut merupakan suatu keberhasilan yang cukup menggembira¬kan, bahkan pada saat itu dianggap sebagai hasil yang monumental. Namun krisis yang berkepanjangan telah mengembalikan kondisi tersebut pada titik awal, bahkan lebih parah lagi, karena banyak anak-anak yang lebih suka turun ke jalan daripada bersekolah dengan biaya mahal. Krisis yang berkepanjangan telah menurun¬kan kemampuan orangtua untuk membiayai pendidikan anaknya, terutama pada masyarakat lapisan bawah, yang berdampak pada meningkatnya jumlah angka putus sekolah. Pendidikan juga belum menyentuh anak-anak di daerah yang sangat terpencil dan terasing, bahkan bersifat nomadik. Padahal mereka juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan pemerintah wajib mengupayakannya. Pemerintah hanya mengembangkan SD-SD kecil dan SD satu guru, serta sedikit mengupayakan pemerataan guru, dengan memberi insentif khusus kepada para guru yang bertugas di daerah terpencil sebagai upaya merekrut guru yang berkualitas untuk ditugaskan di daerah. Pembangunan pendidikan juga lebih dikonsentrasikan pada penanganan masalah jangka pendek, melalui program-program bantuan untuk kelompok masyarakat miskin yang paling menderita akibat krisis, misalnya mengatasi putus sekolah, menyediakan makanan bergizi, dan ' membantu biaya pendidikan melalui pemberian beasiswa. Upaya itu pun masih sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, sehingga tidak sampai pada yang berhak menerimanya, dan kesenjangan tetap menganga.
Kebijakan relevansi pendidikan dititikberatkan pada keterkait¬an dan kesepadanan antara materi yang diajarkan di sekolah dengan kondisi dan kebutuhan lapangan. Perhatian terhadap masalah relevansi mulai nampak sejak digunakannya kurikulum 1984 dengan muatan lokal yang disisipkan pada berbagai bidang studi yang sesuai, dan hal ini lebih diintensifkan lagi pelaksanaan¬nya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum 1994 muatan lokal tidak lagi disisipkan pada setiap bidang studi, tetapi menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang studi wajib maupun pilihan. Pengembangan kurikulum muatan lokal dimaksud¬kan terutama untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan pengem¬bangan kurikulum sentralisasi, dan bertujuan agar peserta didik mencintai dan mengenal lingkungannya, serta mau dan mampu melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional maupun pembangunan setempat, sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar sosial budaya lingkungannya.
Dalam implementasi kurikulum 2004 yang disempurnakan menjadi kurikulum 2006 selain melalui mata pelajaran muatan lokal, keterkaitan ini lebih ditekankan lagi dengan pendekatan kompetensi (kurikulum berbasis kompetensi), melalui manajemen berbasis sekolah (MBS) sejalan dengan kebijakan desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Melalui kompetensi dasar yang pengembangannya dilakukan oleh daerah dan sekolah, diharapkan peserta didik dapat menerapkan hasil pendidikan secara langsung untuk memperbaiki dan mening¬katkan kualitas masyarakat, serta memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan memper¬siapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna.
Pemberian otonomi yang luas pada sekolah merupakan kepe¬dulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyara¬kat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah.
Kebijakan dalam peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Dalam upaya pembinaan dan pengembangan pendidikan di sekolah dasar, pemerintah mengembangkan suatu sistem pembinaan yang dikenal Sistem Pembinaan Profesional (SPP). Sistem ini dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah, sehingga beberapa sekolah yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus (3 sampai 8 sekolah). Satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti, dan yang lainnya merupakan SD imbas. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan prinsip whole school development, yang memandang sekolah sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah. Sedikitnya terdapat lima komponen yang diperhatikan, yaitu kegiatan pembelajaran, manajemen, buku dan sarana belajar, fisik dan penampilan sekolah, serta partisipasi masyarakat, yang semuanya belum dapat dilakukan secara optimal.
Sejalan dengan uraian di atas, berbagai upaya untuk mening¬katkan kinerja guru dalam pembelajaran dilakukan melalui berbagai pelatihan; seperti pelatihan model pembelajaran, pelatihan pembuatan alat praga, pelatihan pengembangan silabus dan pelatihan pembuatan materi standar. Pembinaan dan pengem¬bangan lain untuk mendukung pembelajaran yang efektif juga dilaksanakan, seperti pelatihan manajemen kelas, manajemen sekolah, manajemen gugus, pengadaan dan penerimaan buku serta sarana belajar. Untuk sekolah-sekolah yang kurang terlayani (underserved schools), dilakukan pemberian bantuan khusus dalam rangka peningkatan kegiatan pembelajaran. Bahkan, untuk meningkatkan peluang peserta didik mengikuti pembelajaran secara optimal di sekolah, diadakan program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS), meskipun dalam pelaksa-naannya masih dihadapi berbagai kendala, terutama berkaitan dengan model pelaksanaan berbentuk proyek, yang sering hanya menghambur-hamburkan dana, yang diperparah oleh sikap mental para pelaksananya. Upaya lain yang sedang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah Bantuan Oparesional Manajemen Mutu (BOMM). Bantuan ini berbentuk hibah yang langsung diberikan ke sekolah melalui rekening sekolah.
Kebijakan pemerintah dalam hal efisiensi dimaksudkan agar sistem pendidikan sekolah di Indonesia memperhatikan unsur efisiensi, sehingga setiap daerah memperhatikan dan melaksanakan pendidikan secara efisien. Dengan demikian, untuk daerah-daerah terpencil yang jumlah peserta didiknya sedikit, pembangunan SD reguler dipandang kurang efisien, karena memerlukan biaya yang sangat tinggi. Untuk itu dicarikan alternatif lain, seperti SD kecil dan SD satu guru. Efisiensi juga berkaitan dengan masalah pembiayaan pendidikan dan pengucuran dana; jika sebelumnya selalu dikelola dalam bentuk proyek, maka dilakukan dalam bentuk block grant yang langsung diterima sekolah. Perubahan manajemen ini terutama dimaksudkan untuk menghemat pembiayaan, agar dengan biaya yang ada dapat melaksanakan kegiatan pendidikan yang berkualitas secara optimal serta dapat meninglmtkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan pendidikan.
Biaya pendidikan di sekolah merupakan pntensi yang sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran dan merupakan bagian integral dalam kajian manajemen pendidikan. Biaya pendidikan di sekolah juga berkaitan dengan berbagai komponen pendidikan, termasuk guru dan tenaga kependidikan lain yang terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Penghematan biaya pendidikan menuntut kemampuan para pengelola dan tenaga kependidikan di sekolah untuk melaku¬kan perencanaan, melaksanakan kebijakan anggaran, mengadakan pengawasan, dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan setiap biaya yang dikeluarkan secara transfaran, efektif, dan efisien. Hal ini sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah, meskipun belum sepenuhnya dilaksanakan, karena menyangkut kerelaan dan kelegawaan pemerintah pusat.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan berbagai bidang lain, dan dengan konsep otonomi daerah yang mem-berikan keleluasaan untuk membangun daerahnya termasuk pendidikan yang didesentralisasikan, pembangunan pendidikan lebih ditekankan pada masalah relevansi dan efisiensi pendidikan, dengan model MBS, dan kurikulum berbasis kompetensi yang dikemas dalam kurikulum 2004.
Pelaksanaan konsep tersebut, pendidikan lebih ditekankan pada upaya membangkitkan semangat generasi muda sebagai calon penerus bangsa untuk memiliki tidak saja rasa ingin tahu dan kemampuannya, tetapi yang paling penting saat ini adalah kemauan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepen¬tingan masyarakat dan bangsa. Ini perlu dikaji dan ditafakuri, karena pendidikan yang dilakukan selama ini baru mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dalam bidang tertentu saja. Pendidikan selama ini belum mampu membangkitkan kemauan peserta didik untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan umat. Di Indonesia, orang pandai sudah cukup banyak, orang terampil juga sudah membeludak. Masalahnya bagaimana agar mereka memiliki kemauan untuk memanfaatkan kepandaian dan keterampilannya bagi pemecahan berbagai persoalan masyarakat dan bangsa, dalam skala kecil sekalipun, bukan malah menambah masalah dan menghambat pembangunan.
Uraian di atas tidak tanpa alasan. Buktinya dapat disaksikan, betapa banyak para peserta didik yang keluyuran di mall pada jam¬-jam efektif belajar. Mengapa mereka lebih senang bermain daripada belajar. Ini adalah tantangan, khususnya bagi para guru, bagaimana menciptakan pembelajaran yang menggairahkan, menantang nafsu peserta didik, dan menyenangkan. Untuk itu, diperlukan guru yang kreatif, profesional, dan menyenangkan, sehingga mampu menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, suasana pembelajaran yang menantang, dan mampu membelajarkan dengan menyenangkan, seakan-akan sedang jalan jalan di mall. Hal ini penting, terutama karena dalam setiap pembelajaran, guru memiliki peranan yang sangat sentral, baik sebagai perencana, pelaksana, maupun evaluator pembelajaran, lebih-lebih di sekolah dasar. Hal ini berarti bahwa kemampuan profesional guru dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan profesional guru, terutama dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara efektif, dan efisien.
Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Menyadari hal tersebut, betapa pentingnya untuk meningkatkan aktivitas, kreatifitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Hal tersebut lebih nampak lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena di sini guru diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah. Simon dan Alexander (1980) telah merangkum lebih dari 10 hasil penelitian di negara-negara berkembang, dan menunjukkan adanya dua kunci penting dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didik; yaitu: jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas, dan kualitas kemampuan guru. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki standar kemampuan profesional untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas.
C. Kesimpulan .
Upaya pemerintah Kabupaten banyuwangi untuk memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan harus diapresiasikan secara positif sebagai niat baik yang perlu didukung. Namun saran masukan dari berbagai elemen masyarakat perlu terus diupayakan. Diantaranya :
1. Perlunya pengawasan terus menerus, terpadu dan berkesinambungan terhadap program pendidikan sehingga sasaran dan tujuan dapat tercapai.
2. Perlunya semakin banyak melibatkan para ahli pendidikan, praktisi, akademisi, dan elemen masyarakat yang lain dalam membuat rencana dan strategi pembangunan pendidikan Banyuwangi ke depan.
3. Perlunya diperluas cakupan perhatian pemerintah utamanya kepada lembaga pendidikan swasta dan kalangan perguruan tinggi, sehingga ikut merasakan manfaat pembangunan pendidikan di Banyuwangi.
Memprioritaskan peningkatan kemampuan profesional guru sebagai ujung tombak pencapaian kemajuan pendidikan.
( Sebuah Refleksi Awal Proses Pembangunan Pendidikan di Banyuwangi )
A. LATAR BELAKANG
Berbicara masalah dunia pendidikan di Banyuwangi, sebenarnya adalah berbicara masalah pembangunan sumberdaya manusia Banyuwangi. Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yakni: (1) sarana pendidikan, (2) buku yang berkualitas, (3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional.
Namun kenyataan dilapangan menunjukan "hanya 43% guru yang memenuhi syarat”, artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional. ( E.Mulyasa. 2004) Pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan, dan kebutuhan. Padahal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.
Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang¬bidang lain seperti ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, maka pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menterjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidup¬an yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Bangsa Indonesia bisa merdeka juga tidak terlepas dari peran pendidikan.
Para pahlawan pendidikan, seperti KH.Hasyim As’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker merupakan bukti peran pendidikan dalam pemba-ngunan bangsa Indonesia. Mereka merintis pendidikan nasional dengan mendirikan NU, Muhammadiyah, Taman Siswa dan lainya, dan secara bertahap meningkatkan pemahaman, kesadaran, serta kecerdasan masyarakat Indonesia, sehingga menjadi bangsa yang merdeka, dan berdaulat seperti sekarang ini.
Menyadari hal tersebut, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang benar bangsa ini dapat membebaskan diri dari belenggu krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui pendidikan, bangsa ini bisa membebaskan masyarakat dari kemiskinan, dan keterpurukan. Melalui pendidikan pula, bangsa ini mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia, bahkan dalam era kesemrawutan global. Tanpa pendidikan yang kuat, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan terus tenggelam dalam keterpurukan. Tanpa pendidikan yang memadai, bangsa Indonesia akan terus dililit oleh kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa Indonesia sulit meraih masa depan yang cerah, damai, dan sejahtera.
Persoalannya, pendidikan yang bagaimanakah yang harus dikembangkan untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan, agar dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta membebaskan bangsa dari ketergantungan terhadap negara lain? Jawabannya sederhana, yakni pendidikan yang dapat mengem¬bangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menye¬luruh. Pendidikan demikianlah yang mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkuaiitas serta memiliki visi, transparansi. dan pandangan jauh ke depan; yang tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut, sekarang banyak diabaikan, bahkan kualitas SDM Indonesia rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain; dari empat puluh tiga negara, hampir dalam seluruh bidang kehidupan Indonesia berada pada urutan sepuluh terakhir. Index pengembangan sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 174 negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga menurun dari urutan ke 41 di antara 46 negara pada tahun 1996 menjadi urutan ke 46 di antara 47 negara pada tahun 2001. Sementara itu, hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dimuat The Jakarta Post (3 September 2001) menunjukkan betapa rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dibanding negara lain di Asia, bahkan berada di bawah Vietnam. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan HDI dan tingkat persaingan, perlu strategi peren¬canaan pembangunan pendidikan yang tepat dalam upaya mengem¬bangkan SDM berkualitas dan profesional, sehingga mampu bersanding dan bersaing dalam era globalisasi yang sedang kita masuki.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Soedi.jarto (1999) mendiagno¬sis berbagai faktor dan memberikan rekomendasi bagi pembaruan pendidikan yang relevan dengan tuntutan pembangunan, yang intinya berkesimpulan bahwa:
(1) Pelaksanaan pendidikan belum seluruhnya terencana dan sistematik diberdayakan untuk melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional secara optimal;
(2) Pendidikan nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasai oleh IPTEK dan persaingan global belum sepenuhnya terlaksana;
(3) Pendidikan nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditi yang mutunya mampu bersaing dan mampu mengembangkan sistem perdagangan;
(4) Pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu mengembang-kan manusia Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak ksatria dan patriotik;
(5) Agar pendidikan nasional benar-benar mampu melaksanakan fungsinya dan mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, perlu dikembangkan dan dilaksanakan program pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang dapat berfungsi sebagai lembaga sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemam¬puan, nilai, sikap dan ahklak yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur serta demokratis berdasar¬kan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Memahami uraian tersebut, diperiukan pendidikan yang dapat menghasilkan SDM berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan (continuous quality improvement). Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa Pendidi¬kan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allh SWT, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan tersebut telah digariskan pula dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
B. KEBIJKAN PEMERINTAH DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Untuk merealisasikan tujuan pembangunan pendidikan tersebut, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi perlu menetapkan empat strategi pokok pembangunan pendidikan sebagai kelanjutan dari prioritas program pendidikan pemerintah, yaitu :
- peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan ( pendidikan gratis - bersubsidi
- relevansi pendidikan dengan pembangunan,
- kualitas pendidikan,
- efisiensi pengelolaan pendidikan.
Strategi tersebut jika dilaksanakan secara proporsional dan profesional, maka akan dapat menyelesaikan berbagai masalah pendidikan. Paling tidak dapat mendekatkan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya. Namun tidak demikian dalam kenyataannya, karena pelaksanaan strategi tersebut seringkali tidak dilakukan oleh ahlinya, sehingga tidak pernah menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Kebijakan dalam bidang pemerataan misalnya, dimaksudkan agar semua warga negara Indonesia memperoleh kesempatan yang sama untuk mengenyam dan mengikuti pendidikan yang berkuali¬tas. Idealnya, warga negara yang tinggal di pedalaman dan daerah terpencil bisa memperoleh pendidikan gratis yang berkualitas seperti saudaranya yang ada di kota. Demikian halnya, warga negara yang miskin harus mendapatkan pendidikan yang sama kualitasnya dengan mereka yang kaya, sehingga pendidikan berkualitas menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat Indonesia. Namun hal tersebut sekarang hanya menjadi angan¬-angan, karena warga miskin yang jumlahnya cukup banyak, jangankan dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas, untuk mencari makan saja susah. Kondisi ini terutama dapat disaksikan di kota-kota, setiap tahun biaya pendidikan meningkat, bahkan kebijakan desentralisasi pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) hanya dijadikan sebagai alat untuk melegalkan pungutan-pungutan yang mengatasnamakan pendi¬dikan, yang seringkali di luar batas kemampuan masyarakat. Wajar kalau mahasiswa menuntut dibubarkannya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, karena lembaga ini tidak bekerja pada jalurnya, hanya menjadi parasit dalam sistem pendidikan.
Pelaksanaan kebijakan pemerataan pendidikan ini pada awalnya menunjukkan hasil yang cukup lumayan, seperti gerakan wajib belajar 6 tahun yang dimulai pada tahun 1984, pada tahun 1994 diperluas menjadi sembilan tahun, dengan harapan semua warga negara Indonesia dapat menempuh pendidikan minimal setara dengan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Dilihat dari pemerataan akses, SD Inpres yang dibangun secara meluas di seluruh nusantara telah memberikan kesempatan pendidikan yang merata. Jika pada akhir Pelita I 1969/1970 persentase anak usia 7¬-12 tahun yang bersekolah hanya sebesar 41,4%, maka sampai akhir Pelita V angka partisipasi tersebut telah mencapai 93,49%. Hal tersebut merupakan suatu keberhasilan yang cukup menggembira¬kan, bahkan pada saat itu dianggap sebagai hasil yang monumental. Namun krisis yang berkepanjangan telah mengembalikan kondisi tersebut pada titik awal, bahkan lebih parah lagi, karena banyak anak-anak yang lebih suka turun ke jalan daripada bersekolah dengan biaya mahal. Krisis yang berkepanjangan telah menurun¬kan kemampuan orangtua untuk membiayai pendidikan anaknya, terutama pada masyarakat lapisan bawah, yang berdampak pada meningkatnya jumlah angka putus sekolah. Pendidikan juga belum menyentuh anak-anak di daerah yang sangat terpencil dan terasing, bahkan bersifat nomadik. Padahal mereka juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan pemerintah wajib mengupayakannya. Pemerintah hanya mengembangkan SD-SD kecil dan SD satu guru, serta sedikit mengupayakan pemerataan guru, dengan memberi insentif khusus kepada para guru yang bertugas di daerah terpencil sebagai upaya merekrut guru yang berkualitas untuk ditugaskan di daerah. Pembangunan pendidikan juga lebih dikonsentrasikan pada penanganan masalah jangka pendek, melalui program-program bantuan untuk kelompok masyarakat miskin yang paling menderita akibat krisis, misalnya mengatasi putus sekolah, menyediakan makanan bergizi, dan ' membantu biaya pendidikan melalui pemberian beasiswa. Upaya itu pun masih sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, sehingga tidak sampai pada yang berhak menerimanya, dan kesenjangan tetap menganga.
Kebijakan relevansi pendidikan dititikberatkan pada keterkait¬an dan kesepadanan antara materi yang diajarkan di sekolah dengan kondisi dan kebutuhan lapangan. Perhatian terhadap masalah relevansi mulai nampak sejak digunakannya kurikulum 1984 dengan muatan lokal yang disisipkan pada berbagai bidang studi yang sesuai, dan hal ini lebih diintensifkan lagi pelaksanaan¬nya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum 1994 muatan lokal tidak lagi disisipkan pada setiap bidang studi, tetapi menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang studi wajib maupun pilihan. Pengembangan kurikulum muatan lokal dimaksud¬kan terutama untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan pengem¬bangan kurikulum sentralisasi, dan bertujuan agar peserta didik mencintai dan mengenal lingkungannya, serta mau dan mampu melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional maupun pembangunan setempat, sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar sosial budaya lingkungannya.
Dalam implementasi kurikulum 2004 yang disempurnakan menjadi kurikulum 2006 selain melalui mata pelajaran muatan lokal, keterkaitan ini lebih ditekankan lagi dengan pendekatan kompetensi (kurikulum berbasis kompetensi), melalui manajemen berbasis sekolah (MBS) sejalan dengan kebijakan desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Melalui kompetensi dasar yang pengembangannya dilakukan oleh daerah dan sekolah, diharapkan peserta didik dapat menerapkan hasil pendidikan secara langsung untuk memperbaiki dan mening¬katkan kualitas masyarakat, serta memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan memper¬siapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna.
Pemberian otonomi yang luas pada sekolah merupakan kepe¬dulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyara¬kat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah.
Kebijakan dalam peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Dalam upaya pembinaan dan pengembangan pendidikan di sekolah dasar, pemerintah mengembangkan suatu sistem pembinaan yang dikenal Sistem Pembinaan Profesional (SPP). Sistem ini dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah, sehingga beberapa sekolah yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus (3 sampai 8 sekolah). Satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti, dan yang lainnya merupakan SD imbas. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan prinsip whole school development, yang memandang sekolah sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah. Sedikitnya terdapat lima komponen yang diperhatikan, yaitu kegiatan pembelajaran, manajemen, buku dan sarana belajar, fisik dan penampilan sekolah, serta partisipasi masyarakat, yang semuanya belum dapat dilakukan secara optimal.
Sejalan dengan uraian di atas, berbagai upaya untuk mening¬katkan kinerja guru dalam pembelajaran dilakukan melalui berbagai pelatihan; seperti pelatihan model pembelajaran, pelatihan pembuatan alat praga, pelatihan pengembangan silabus dan pelatihan pembuatan materi standar. Pembinaan dan pengem¬bangan lain untuk mendukung pembelajaran yang efektif juga dilaksanakan, seperti pelatihan manajemen kelas, manajemen sekolah, manajemen gugus, pengadaan dan penerimaan buku serta sarana belajar. Untuk sekolah-sekolah yang kurang terlayani (underserved schools), dilakukan pemberian bantuan khusus dalam rangka peningkatan kegiatan pembelajaran. Bahkan, untuk meningkatkan peluang peserta didik mengikuti pembelajaran secara optimal di sekolah, diadakan program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS), meskipun dalam pelaksa-naannya masih dihadapi berbagai kendala, terutama berkaitan dengan model pelaksanaan berbentuk proyek, yang sering hanya menghambur-hamburkan dana, yang diperparah oleh sikap mental para pelaksananya. Upaya lain yang sedang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah Bantuan Oparesional Manajemen Mutu (BOMM). Bantuan ini berbentuk hibah yang langsung diberikan ke sekolah melalui rekening sekolah.
Kebijakan pemerintah dalam hal efisiensi dimaksudkan agar sistem pendidikan sekolah di Indonesia memperhatikan unsur efisiensi, sehingga setiap daerah memperhatikan dan melaksanakan pendidikan secara efisien. Dengan demikian, untuk daerah-daerah terpencil yang jumlah peserta didiknya sedikit, pembangunan SD reguler dipandang kurang efisien, karena memerlukan biaya yang sangat tinggi. Untuk itu dicarikan alternatif lain, seperti SD kecil dan SD satu guru. Efisiensi juga berkaitan dengan masalah pembiayaan pendidikan dan pengucuran dana; jika sebelumnya selalu dikelola dalam bentuk proyek, maka dilakukan dalam bentuk block grant yang langsung diterima sekolah. Perubahan manajemen ini terutama dimaksudkan untuk menghemat pembiayaan, agar dengan biaya yang ada dapat melaksanakan kegiatan pendidikan yang berkualitas secara optimal serta dapat meninglmtkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan pendidikan.
Biaya pendidikan di sekolah merupakan pntensi yang sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran dan merupakan bagian integral dalam kajian manajemen pendidikan. Biaya pendidikan di sekolah juga berkaitan dengan berbagai komponen pendidikan, termasuk guru dan tenaga kependidikan lain yang terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Penghematan biaya pendidikan menuntut kemampuan para pengelola dan tenaga kependidikan di sekolah untuk melaku¬kan perencanaan, melaksanakan kebijakan anggaran, mengadakan pengawasan, dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan setiap biaya yang dikeluarkan secara transfaran, efektif, dan efisien. Hal ini sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah, meskipun belum sepenuhnya dilaksanakan, karena menyangkut kerelaan dan kelegawaan pemerintah pusat.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan berbagai bidang lain, dan dengan konsep otonomi daerah yang mem-berikan keleluasaan untuk membangun daerahnya termasuk pendidikan yang didesentralisasikan, pembangunan pendidikan lebih ditekankan pada masalah relevansi dan efisiensi pendidikan, dengan model MBS, dan kurikulum berbasis kompetensi yang dikemas dalam kurikulum 2004.
Pelaksanaan konsep tersebut, pendidikan lebih ditekankan pada upaya membangkitkan semangat generasi muda sebagai calon penerus bangsa untuk memiliki tidak saja rasa ingin tahu dan kemampuannya, tetapi yang paling penting saat ini adalah kemauan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepen¬tingan masyarakat dan bangsa. Ini perlu dikaji dan ditafakuri, karena pendidikan yang dilakukan selama ini baru mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dalam bidang tertentu saja. Pendidikan selama ini belum mampu membangkitkan kemauan peserta didik untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan umat. Di Indonesia, orang pandai sudah cukup banyak, orang terampil juga sudah membeludak. Masalahnya bagaimana agar mereka memiliki kemauan untuk memanfaatkan kepandaian dan keterampilannya bagi pemecahan berbagai persoalan masyarakat dan bangsa, dalam skala kecil sekalipun, bukan malah menambah masalah dan menghambat pembangunan.
Uraian di atas tidak tanpa alasan. Buktinya dapat disaksikan, betapa banyak para peserta didik yang keluyuran di mall pada jam¬-jam efektif belajar. Mengapa mereka lebih senang bermain daripada belajar. Ini adalah tantangan, khususnya bagi para guru, bagaimana menciptakan pembelajaran yang menggairahkan, menantang nafsu peserta didik, dan menyenangkan. Untuk itu, diperlukan guru yang kreatif, profesional, dan menyenangkan, sehingga mampu menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, suasana pembelajaran yang menantang, dan mampu membelajarkan dengan menyenangkan, seakan-akan sedang jalan jalan di mall. Hal ini penting, terutama karena dalam setiap pembelajaran, guru memiliki peranan yang sangat sentral, baik sebagai perencana, pelaksana, maupun evaluator pembelajaran, lebih-lebih di sekolah dasar. Hal ini berarti bahwa kemampuan profesional guru dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan profesional guru, terutama dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara efektif, dan efisien.
Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Menyadari hal tersebut, betapa pentingnya untuk meningkatkan aktivitas, kreatifitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Hal tersebut lebih nampak lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena di sini guru diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah. Simon dan Alexander (1980) telah merangkum lebih dari 10 hasil penelitian di negara-negara berkembang, dan menunjukkan adanya dua kunci penting dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didik; yaitu: jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas, dan kualitas kemampuan guru. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki standar kemampuan profesional untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas.
C. Kesimpulan .
Upaya pemerintah Kabupaten banyuwangi untuk memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan harus diapresiasikan secara positif sebagai niat baik yang perlu didukung. Namun saran masukan dari berbagai elemen masyarakat perlu terus diupayakan. Diantaranya :
1. Perlunya pengawasan terus menerus, terpadu dan berkesinambungan terhadap program pendidikan sehingga sasaran dan tujuan dapat tercapai.
2. Perlunya semakin banyak melibatkan para ahli pendidikan, praktisi, akademisi, dan elemen masyarakat yang lain dalam membuat rencana dan strategi pembangunan pendidikan Banyuwangi ke depan.
3. Perlunya diperluas cakupan perhatian pemerintah utamanya kepada lembaga pendidikan swasta dan kalangan perguruan tinggi, sehingga ikut merasakan manfaat pembangunan pendidikan di Banyuwangi.
Memprioritaskan peningkatan kemampuan profesional guru sebagai ujung tombak pencapaian kemajuan pendidikan.
0 komentar:
Post a Comment